Terkenal di telinga kita bahwa ada seorang tokoh kontroversial namun dikenal sebagai pengasas sistem logika formal atau setidaknya bentuk terlama yang bisa sampai pada kita. Ya, dialah Aristoteles (384 SM). Beliau telah membangun empat belas modus silogisme. Tetapi apa bukti kebenaran dari silogisme yang dibangun tersebut?
Pada karyanya, Analytika Hystera, dia menyoalkan pengetahuan berasal dari bukti. Kesimpulan yang benar haruslah berasal dari premis-premis yang terbuki benar. Premis-premis ini haruslah berdasarkan kesimpulan dari silogisme sebelumnya dan lagi-lagi perlu bukti atas kebenarannya. Hal ini akan terus berlanjut hingga regresi tak terbatas atau ada premis yang tidak berdasarkan pada kesimpulan. Dari sini, agar silogisme tidak rusak haruslah ada premis yang tidak berdasarkan kesimpulan tetapi ditetapkan tanpa bukti.
Aksioma adalah suatu sebutan untuk suatu yang jelas dengan sendirinya alias tanpa bukti (self evident). Sebutan ini merupakan terjemahan atas axíōma. Kata berikut juga diterjemahkan ke bahasa Latin menjadi postulatus (postulat) namun dengan pengertian yang sedikit berbeda, yaitu sesuatu yang harus diakui yang dengan keberadaannya diskusi dapat berlanjut.
Aristoteles sendiri tidak secara tersurat bahwa ia menjadikan aksioma atau postulat sebagai landasan sistem silogismenya, tetapi dia mempunyai tiga asas yang merupakan prasyarat bernalar:
1. Asas Identitas (A adalah A)
2. Asas Non-Kontradiksi (Tidak mungkin A adalah bukan A)
3. Asas Penyisihan Jalan Tengah (Tidak mungkin sesuatu itu di antara A dan bukan A)
Dikabarkan ketiga asas ini tidak bisa dibantah. Segala cara yang dilakukan untuk membantahnya selalu menjadikan asas tersebut berlaku pada bantahan tersebut.
Bersambung …
(Disarikan dari Principia Logica karya Martin Suryajaya)